Wednesday, September 11, 2013

Wewenang Penyidikan Jaksa



Dari aspek historis, kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu, khususnya tindak pidana korupsi sudah dimulai sejak berlakunya Herziene Inlandsch Reglement (HIR) hi“Pada masa HIR, penyidikan merupakan bagian dari penuntutan. Kewenangan itu menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan. Bahkan, jaksa dapat melakukan penyidikan sendiri sesuai pasal 38 jo Pasal 39 jo pasal 46 ayat (1) HIR,” kata Direktur TUN Kejaksaan Agung, Swarsono, dalam pengujian pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/2)Untuk diketahui, seorang tersangka korupsi Djailudin Kaisupy memohon pengujian pasal 30 ayat (1) berikut penjelasannya UU Kejaksaan Republik Indonesia. Ia menilai kewenangan jaksa sebagai penuntut umum merangkap penyidik perkara korupsi menimbulkan ketidakpastian hukum dan melampaui batas kewenangan yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Hal ini mengakibatkan penyidikan dan penuntutan tidak objektif karena dilakukan oleh orang yang sama.

Swarsono menegaskan dalam perkembangannya lahirlah sejumlah Undang-Undang yang memberi kewenangan penyidikan jaksa dalam perkara tertentu termasuk korupsi. Antara lain, UU No. 15 Tahun 1961 tentang Kejaksaan, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor, Pasal 284 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

“Termasuk fatwa MA No. KMA/102/III/2005 atas Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyatakan kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang,” kata Swarsono.

Menurut Swarsono pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan kejaksaan secara tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab, dalam praktek di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari wewenang melakukan penuntutan.

 “Seperti di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di Jepang, Jerman, dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang jaksa,” bebernya.

Karena itu, dalil permohonan yang didasarkan pada teori hukum yan sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum saat ini dan tidak sesuai dengan kenyataan di banyak negara hukum dan demokrasi yang ada di dunia. “Menyatakan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan beserta penjelasannya tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” tuntutnya.

Hal senada juga keterangan DPR yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin. Ia mengatakan dasar hukum kewenangan jaksa selaku penyidik sejak berlakunya Pasal 6 KUHAP. “Sehingga kepolisian bukan penyidik tunggal terhadap perkara apapun,” kata Aziz.

Karena itu, DPR tidak sependapat dengan pemohon yang mempersoalkan kewenangan jaksa dalam penyidikan perkara korupsi. Terlebih, dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP secara tegas menyebutkan kewenangan kejaksaan sebagai penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi).

Pasal inilah yang menjadi acuan kewenangan jaksa bertindak selaku penyidik tindak pidana korupsi. “DPR juga tidak sependapat dengan alasan pemohon menganggap adanya multitafsir dan disharmonisasi hukum terkait kewenangan jaksa apakah sebagai penyidik atau penuntut umum? Sehingga Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

(dikutip dari Hukumonline dan dari sumber lain)

No comments:

Post a Comment

Page

Pengikut